Perjalanan Sejarah Rempah Di Indonesia Membuat Hati Miris
Perjalanan sejarah rempah di Indonesia penuh liku-liku bahkan cukup miris dari negeri pengekspor rempah-rempah terbesar di dunia menjadi negeri pengimpor . Bahkan hal ini terjadi pula pada produk-produk lain selain rempah seperti garam. Dahulu kala Indonesia adalah satu titik di jalur perdagangan rempah internasional yang penting.
Menurut Pembina Yayasan Negeri Rempah, Hassan Wirajuda, menjelaskan bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah titik penting dari perjalanan rempah di bumi Nusantara dimana kerajaan di Pulau Sumatera itu menghubungkan antara Nusantara, Beijing (Tiongkok), India, Persia, dan Timur Tengah.
Posisi Nusantara memang sangat strategis, dengan kofigurasi pulau-pulau yang memiliki ribuan selat dipakai untuk banyak pelayaran dan perdagangan, menjadikan Nusantara ( sebutan Indonesia saat itu) sebagai pusat rempah dunia.
Dengan kondisi ini justru tidak menguntungkan bagi negeri kita sebab komoditas rempah yang sangat dicari saat itu telah berubah menjadi monopoli perdagangan.
Baca Juga:
Tentang Tanaman Lada
Tikus-Tikus Takut Dengan 3 Tanaman Dan 2 Bumbu Dapur Ini
Rempah yang dalam bahasa latin bernama “species” diartikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai lebih yang spesial. Profesor Sejarah UIN Jakarta Azyumardi Azra, mengatakan nilai itu didapat karena rempah menjadi suatu barang untuk penyembahan dan penyembuhan. Karena beberapa rempah-rempah itu memang berkhasiat untuk penyembuhan aneka penyakit.
Azyumardi mengutip dari UNESCO dalam acara IFSR (International Forum on Spice Route) 2019, mengatakan bahwa rempah mempunyai rute perjalanan yang membentang luas dari Kepulauan Maluku, Lautan India, Laut Merah, Gurun Sinai, Laut Mediterania, dan Pantai Selatan Eropa.
Azyumardi yakin jalur perdagangan rempah sudah dimulai pada tahun 2000 sebelum masehi. dan yang memulainya tersebut adalah orang-orang Mesir kuno. Bahkan Islam menjadi patokan bagi Azyumardi yang membangkitkan rute ekspansi rempah dunia.
“Rute ini bangkit karena rute ekspansi Islam selama masa muslim Umayyah dan Abbasiyah pada peride abad ke 7-8 Masehi. Para pedagang muslim harus bersila pada Raja Sriwijaya. Mereka juga berlayar ke Maluku sebagai pusat rute perdagangan rempah dan mendapat perlindungan dari pemerintahan lokal setempat. Sehingga mereka bisa menciptakan international free trade,” ucap Azyumardi pada konferensi IFSR 2019 di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Masuknya para penjelajah Eropa menjadikan Nusantara sebagai daerah cosmopolitan (kota besar yang mempunyai sifat internasional) menurut Azyumardi. Rute perdagangan rempah telah berkembang fungsinya menjadi penyebaran budaya bahkan keyakinan mereka (baca: agama)
Nusantara pada abad 1480-1650 disebut Anthony Reid sebagai “Age of Commerce” (Zaman Perdagangan) yang menjadi pusat pertemuan perdagangan internasional.
Rempah-rempah Maluku seperti cengkeh dan pala menjadi “barang terpanas” yang diperebutkan dari perdagangan global, sampai-sampai VOC mendirikan monopoli pada tahun 1650.
Rute perdagangan antara Mediterania dan Asia Timur pun tersegmentasi dengan para pedagang selat (Pasal, Melaka, Banten, Palembang, Aceh, Patani). Bahkan setelah larangan perdagangan selama berabad-abad menurut Anthony, China 1568 dan Jepang 1590-1653 mengirimkan perdagangan legalnya ke Asia Tenggara.
Hal ini menjadikan pelabuhan di Asia Tenggara sebagai bagian penting dari interaksi antara Tiongkok dan negara lainya.
Menyangkut rute rempah-rempah, Tiongkok dan India-lah yang justru diyakini oleh Chee-Beng Tan yang memiliki kontak awal dengan Asia Tenggara. Profesor dari Universitas Sun Yat-Sen ini menjelaskan bahwa sebelum Arab, Persia, dan Yunani mencapai Asia Tenggara, Tiogkok dan India sudah bisa memperoleh rempah-rempah dari Pantai Barat India, seperti Malabar.
Perjalanan Sejarah Rempah Yang Memilukan
Rempah-rempah adalah satu alasan bangsa Eropa datang ke Nusantara yang kini Indonesia. Mereka berambisi untuk berburu dan menguasai rempah-rempah yang dimiliki Indonesia.
Ada tujuh jenis rempah-rempah yang menjadi kekayaan Indonesia, diantaranya lada, kayu manis, pala, vanila, cengkeh, kunyit, dan jahe.
Perjalanan sejarah rempah itu hanya menjadi cerita, karena komoditas yang disebut juga sebagai ‘emas hitam’ itu, kini malah harus diimpor dari negara lain. Dua jenis rempah yang diimpor dari negara lain yakni lada dan cengkeh.
Dikutip dari CNBC Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Juni 2021, Indonesia telah melakukan transaksi sebanyak 183,55 ton atau menurun 28,1% dari volume impor pada tahun lalu yang mencapai 255,43 ton.
Adapun negara -negara yang mengekspor lada ke Indonesia Vietnam, Thailand, Australia, Malaysia dan negara lainnya.
Nilai impor lada sepanjang Semester I-2021 tersebut mencapai US$ 895.541, angka ini naik 3,3% dibandingkan dengan nilai impor pada Januari-Juni 20220 yang sebesar US$ 867.114.
Selain lada, ada juga cengkeh yang diimpor dari Madagaskar, Singapura, dan Inggris.
Sepanjang Januari-Juni 2021, volume impor cengkeh mencapai 2.818 ton, volume tersebut meningkat 12,2% jika dibandingkan volume impor pada tahun lalu yang sebesar 2.511,2 ton.
Adapun nilai impor lada pada Semester I-2021 mencapai US$ 15,28 juta, atau naik 27% jika dibandingkan dengan nilai impor Januari-Juni 2020 yang sebesar US$ 12,03 juta
Sumber: CNBC Indonesia