Pemanfaatan Harta Wakaf Untuk Perekonomi Umat
Pemanfaatan harta wakaf secara benar akan membawa kebaikan dunia dan akhirat bagi pemberi wakaf dan penerima wakaf. Harta Wakaf adalah salah satu bentuk konversi harta pribadi menjadi harta milik umum/publik. Mewakafkan harta adalah salah satu penafkahan harta dalam Islam selain zakat (baik wajib atau sunah) dan sedekah. Dengan seseorang mewakafkan hartanya maka dia akan mendapatkan pahala yang tidak putus-putusnya walaupun dia sudah meninggal dunia.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim no. 1631)
Perkataan “wakaf” adalah ejaan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab = “Waqaf”. Waqaf berasal dari kata “waqf”. Secara bahasa artinya menahan,berhenti atau diam.
Baca Juga:
Murahnya Investasi Tanah Kavling Di Bekasi, Disain Suka-suka
Properti Tanpa Riba VS Properti Konvensional
Adapun ta’rif (definisi) waqaf secara syari’at, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata: “Waqaf adalah menahan pokok/asal (harta), sehingga tidak diwariskan, tidak dijual, dan tidak dihibahkan, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang yang diberi waqaf”. [Minhajul Muslim, hlm. 419]
Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Pada asalnya waqaf tidak boleh dijual. Karena, jika dijual dan barang waqafnya sudah tidak ada wujudnya, maka bukan lagi waqaf (menahan pokok/asal harta).
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Umar binAl Khaththab mendapatkan tanah di kota Khaibar. Lalu dia mendatangi Nabi (untuk) meminta petunjuk kepada Beliau tentang tanah tersebut. Dia berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan tanah di kota Khaibar. Aku tidak pernah mendapatkan harta sama sekali yang lebih berharga padaku darinya. Maka apakah yang Anda perintahkan tentang tanah itu?” Beliau bersabda,”Jika engkau mau, engkau menahan pokoknya(wakafkan), dan engkau bershadaqah dengan (hasil)nya.”
Maka Umar pun bershadaqah dengan hasilnya, dengan syarat bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Umar bershadaqah dengan (hasil) tanah itu untuk orang-orang miskin, karib kerabat, budak-budak, fi sabilillah, ibnu sabil, dan tamu itu salah satu bentuk contoh pemanfaatan harta wakaf yang sesuai dengan syariat.
Tidak mengapa orang yang mengurusnya (mengelolanya) memakan darinya dengan baik, juga (tidak mengapa) dia memberi makan (darinya) dengan tidak menyimpan harta. [HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Darimi].
Ibn Taimiyah berkata: Apabila dibutuhkan ganti, maka harta wakaf itu wajib diganti dengan semisalnya. Adapun bila ia tidak dibutuhkan, boleh diganti dengan yang lebih baik, bila ternyata dengan diganti (itu) lebih mendatangkan maslahat. [Lihat Taisirul Allam, 2/252].
Pengurus wakaf adalah mewakili wakif, untuk melaksanakan amanahnya. Tentunya dibutuhkan orang yang amanah. Diutamakan orang yang berakidah benar dan Ahli Ilmu din (agama) dan bermanhaj yang benar. Memiliki kemampuan mengelola, agar dapat disalurkan hasilnya untuk kebaikan.
Di dalam kitab Kasyaful Qana’ disebutkan, tidak sah wakaf diserahkan kepada:
Pertama. Orang yang tidak jelas, misalnya wakaf ini kami serahkan kepada siapa saja, karena diragukan kepengurusannya.
Kedua. Diserahkan kepada orang mati, jin atau budak, karena wakaf membutuhkan tenaga yang mampu mengelolanya.
Ketiga. Diserahkan kepada bayi yang belum lahir. Karena wakaf membutuhkan izin untuk memilikinya. Sedangkan bayi, dia tak memiliki kemampuan. [Lihat kitab Kasyaful Qana’, 4/249].
Pengurus harta wakaf tidaklah mengambil hasil wakaf, melainkan sesuai dengan pekerjaannya dengan didasari takut kepada Allah.
Hadits di atas menyebutkan :
لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Yang mengurusinya tidak mengapa bila dia makan sebagian hasilnya dan memberi makan yang lain, asalkan bukan untuk menimbun harta. [HR Bukhari, no. 2565].
Harta wakaf bisa dijadikan sebagai sarana untuk membantu ekonomi masyarakat yang bermodal pas-pasan seperti pelaku usaha UMKM.
Karena sifat wakaf itu harta yang ditahan tidak boleh habis pokoknya maka harta wakaf bisa diberikan kepada yang berhak dan dia mampu mengelolanya (amanah) supaya modal yang telah diberikan tidak habis dimakan. Jika dia berhak memperoleh harta itu sementara dia belum mampu mengelolanya maka bisa dididik dulu sampai bisa mengelola harta.
Salah satu contoh pada saat ini tentang pemanfaatan harta wakaf, seorang pengelola harta wakaf di Bandung sukses laba bisnisnya tembus milyaran rupiah.
CEO Sinergi Foundation mengungkapkan total margin laba seluruh unit bisnis wakaf Sinergi Foundation mencapai miliaran. Pada 2019, marginnya Rp1,5 miliar. Sedangkan pada 2020, mencapai Rp1,8 miliar, Senin (25/1/2021).
“Alhamdulillah terus meningkat meskipun 2020 lalu terkendala pandemi,” kata CEO Sinergi Foundation, Asep Irawan kepada wartawan di Bandung, Senin (25/1/2021).
Setelah sukses dengan Rumah Makan Ampera berbasis wakaf pada 2016, Sinergi Foundation kembali membangun bisnis kuliner berbasis wakaf, yang hasilnya dipakai untuk membantu masyarakat membutuhkan.
“Pada 2019, bisnis yang dikembangkan adalah coffeeshop Kopi Haii dan kedai Cuankie & Batagor Serayu. Lalu pada 2020, bisnis merambah ke Surabi Enhaii. Ketiganya bertempat di Gedung Wakaf Pro, di Jalan Sidomukti No. 99 H Bandung,” katanya , dikutip dari situs Badan Wakaf Indonesia (BWI)