Hukum Waris Islam: Yang Dilupakan Dan Ditinggalkan
Hukum Waris Islam adalah salah satu perintah Allah selain sholat, puasa, zakat, haji umroh, menutup aurat dan lain-lain. Namun hukum Allah ini pada zaman milineal ini banyak dilupakan dan ditinggalkan oleh pemeluk Islamnya sendiri. Padahal kita tidak boleh membeda-bedakan hukum Allah yang satu dengan yang lain. Kedudukan ajaran Islam yang semuanya itu dari Allah itu sama.
Sejarah Hukum Waris
Pada zaman Jahiliyah dahulu, harta warisan berpindah ke tangan anak sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya. Mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka, karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang.
Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi Radhiyallahu ‘anhu, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka. Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.
Baca Juga:
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian perempuan” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/433]
Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya di Minangkabau (suku di Sumatera Barat), mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan.
Karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.
Karena itu, suami dianjurkan (baca : diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan. Dan merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua. Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus lebih banyak bertandang ke rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang tuanya sendiri.
Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Dan sebaliknya, pada adat Minang ini, laki-laki selalu “dirugikan”.
Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya Hamka rahimahullah dalam salah satu karangannya :”Jika ada laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan dari orang tuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai nasi)”
Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri dimana kita tinggal dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan –menurut mereka- tidak adil.
Pendapat seperti ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal.
Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas tidak terbukti. Karena pembagian harta diantara ahli waris berdasarkan tuntutan keadilan, kemaslahatan dan kemanfaatan disisi Allah. Allah mengisyaratkan hal ini di dalam firmanNya.
…… ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ١١
11. ….. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana[An-Nisa : 11]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan hartanya. Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” [Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah no. 2194], Sunan Ibni Majah (II/905, no. 2713), Sunan Abi Dawud (VIII/72, no. 2853), Sunan at-Tirmidzi (III/293, no. 2203).]
Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang layak dikasihi dan dilindungi.
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩
9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar[an nisa]
Di dalam sebuah hadis dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم لَمَّا دَخَلَ عَلَى سَعْد بْنِ أَبِي وَقَاصٍّ يَعُودُهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةً، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: “لَا”. قَالَ: فالشَّطْر؟ قَالَ: “لَا”. قَالَ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: “الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ”. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إنك أن تَذر وَرَثَتَك أغنياء خَيْر من أَنْ تَذَرَهم عَالةً يتكَفَّفُون النَّاسَ”
Ketika Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumah Sa’d ibnu Abu Waqqas dalam rangka menjenguknya, maka Sa’d bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Rasulullah Saw. menjawab, “Tidak boleh.” Sa’d bertanya.”Bagaimana kalau dengan separonya?” Rasulullah Saw. menjawab, “Jangan.” Sa’d bertanya, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Rasulullah Saw. menjawab, “Sepertiganya sudah cukup banyak.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang.
Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah. Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.
Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain.
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak manfaatnya.
Pentingnya Ilmu Mawarits
Jika hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu di rekonstruck oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara terperinci di dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” [Al-Baqarah : 43] atau :”Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu” [Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detail.
Adapun pembagian hukum waris Islam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.
Semoga yang membaca artikel ini tidak termasuk orang yang melupakan hukum waris Islam ini sehingga Allah memberikan keridhoan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Aamiin ya rabbal alaamiin.